27 October, 2009

Di Balik Cita-Cita

Saya dapet artikel ini dari imel berantai di kantor. Nice artikel.

So…jangan takut untuk bercita-cita. Dan jangan remehkan cita-cita apapun itu.

Apa cita-cita anda ketika kanak-kanak? Menjadi guru? Dokter? Atau insiyur? Ketika iseng membolak balik sebuah majalah anak-anak Indonesia yang memuat tentang biodata kiriman pembaca, saya tersenyum sendiri. Aduh! Dari zaman dulu masa sih cita-citanya itu-itu saja. Kalau tidak guru, dokter atau jadi insiyur.

Tahukah anda apakah cita-cita favorit anak-anak Jepang?

Saya coba membaca kembali buku kenangan si sulung ketika duduk di taman kanak-kanak Ishima. Buku itu memuat gambar wajah goresan tangan siswa dan kolom �gokikunattara� h (kalau sudah besar�c..). Dari 65 orang teman satu angkatan si sulung, ada 25 item cita-cita. Ajaibnya, tak satupun menjawab ingin menjadi guru atau insiyur. Hanya ada satu orang menjawab ingin menjadi dokter gigi.

Apakah cita-cita anak-anak Jepang ini? Terbanyak nomor satu adalah menjadi penjual. Penjual bunga, sayuran, es krim, kue, roti, buku dll. Profesi favorit nomor dua adalah driver. Driver truk, bis, masinis dan shinkansen (kereta super cepat Jepang). Selanjutnya disusul pekerjaan lain seperti polisi dan petugas pemadam kebakaran.

Cita-cita anak-anak memang bukan hal yang tetap. Kadang berubah-rubah sesuai pengalaman hidup yang dijumpainya. Contohnya si sulung. Sehabis kunjungan ke kantor pemadam kebakaran, dia ingin menjadi petugas pemadam kebakaran. Tapi ketika kami pergi dengan kereta super cepat-shinkansen- melihat petugas control shinkansen dia langsung berbisik,�hBun, kakoi (gagah) ya.�h Katanya sambil menunjuk petugas untenshi shinkansen.
Dia juga pernah bercita-cita menjadi tukang kayu. Hah, tukang kayu? Betul, tukang kayu hehehe�cCeritanya ada satu buku yang kami pinjam dari perpustakaan mengulas tentang pernak pernik kehidupan dan pekerjaan seorang tukang kayu Jepang. Aiiih�cbuku itu memang menarik sekali. Disamping mengenalkan peralatan pertukangan, dikenalkan teknik memotong dengan gergaji, memaku, memasang sekrup, mengayunkan kapak dll. Ada juga scene tentang kehidupan tukang kayu dan keluarga. Akhir pekan ketika sedang tak ada order, jalan-jalan dengan keluarga. Duh, asyiknya. Kemudian bagian terakhir, ada penjelasan tentang bagaimana suatu bangun bisa berdiri. Dari membuat pondasi, tiang dll. Agar bangunan tahan gempa, sejumlah teknik juga dijelaskan. Betul-betul buku anak-anak yang sarat informasi!
Jadi betul ya, memang cita-cita anak-anak gampang berubah. Tapi, ada beberapa hal setidaknya membuat pola cita-cita anak-anak Jepang dan Indonesia begitu berbeda. Ini alasannya menurut saya.

Pertama. Pengalaman bersentuhan langsung dengan beragam lingkungan di luar sekolah atau rumah. Kurikulum sekolah Jepang, dari taman kanak-kanak ada program untuk kunjungan keluar (kengaku). Kunjungan ke kantor pemadam kebakaran, kepolisian, stasiun, stadion olahraga dll. Dalam kunjugan ini biasanya siswa di perkenalkan dengan pekerjaan rutin disitu, juga diajak berinteraksi langsung. Mereka diajak langsung melihat gulungan selang pemadam kebakaran dan alat bantu lainnya misalnya, melihat polisi yang sedang latihan berbaris, melongok isi mobil dapur umum tentara Jepang dan banyak lagi.

Kedua. Keberadaan ehon (buku bergambar) yang beragam. Jepang memang gudangnya buku anak. Komik dan buku bergambar hadir dengan beragam ilustrasi menarik sesuai usia anak. Betul-betul syurga bagi orangtua yang ingin menumbuhkan minat baca bagi putra putrinya. Buku-buku tentang beragam profesi bisa didapatkan disini, asal kita telaten mengubek-ngubek koleksi perpustakaan. Contohnya, buku tentang tukang kayu yang membuat si sulung memoloti buku itu seharian sampai habis.

Ketiga. Orang Jepang sangat menghargai pekerjaan apapun. Tak peduli seorang kuli atau tukang kayu, lingkungan tak pernah meremehkan pekerjaan tersebut. Ketua PTA (parent Teacher Association) di kelas si sulung adalah seorang ibu pemilik salon kecil. Kepada petugas cleaning service di lorong-lorong laboratorium di kampus, para professor yang telah mencapai tingkat ilmu tertinggi di bidang akademik itu, tak segan-segan mengucapkan sekedar salam �gotsukaresamadeshit a�h (terima kasih atas usaha dan kerja keras anda). Kami para mahasiswa, jika bertemu para volunteer di rumah sakit, diingatkan selalu aisatsu (salam). Volunteer adalah petugas sukarela yang membantu pasien RS pendidikan Okayama University, tempat saya menuntut ilmu, untuk melakukan registrasi kartu lewat mesin otomatis di lobby bawah dekat pintu masuk RS. Para volunteer ini kebanyakan berusia senja yang telah pensiun dari pekerjaannya. Mereka tidak mendapat gaji dari RS. Mereka mengerjakan tugas ini sukarela untuk mengisi masa-masa pensiunnya.

Itulah tiga alasan yang membuat anak-anak Jepang begitu memiliki beragam cita-cita, yang mungkin untuk orang Indonesia, profesi yang dipandang sebelah mata. Cita-cita kok jadi tukang bunga? Kerenan dikit nape hehehe...

Cita-cita juga adalah gambaran lingkungan menanamkan secara tidak sengaja �elabel�f atas sebuah profesi. Cita-cita itu harus yang keren. Kalau ngga keren, bukan cita-cita donk. Ketika lingkungan memberikan apresiasi terhadap profesi, anak-anak pun menyerapnya menjadi pembelajaran. Di sekolah dasar si sulung setiap tahun ada kegiatan yang bernama gaku tanken atau mengenal lingkungan terdekat sekolah. Kantor pos, toko kue, salon, pool bis dll menjadi sasaran kunjungan anak-anak secara berkelompok. Anak-anak diperkenakan untuk bertanya tentang apapun yang berkaitan dengan pekerjaan tersebut. Dari proses interaksi langsung, timbullah pemahaman atas sebuah profesi. Dari situ lahirlah penghargaan. Tukang pos itu berat ya pekerjaannya. Surat tidak boleh sampai salah kirim. Tapi asyik juga jadi tulang pos, bisa hapal nama-nama jalan, begitulah salah stau kesan anak-anak yang pergi ke kantor pos..
Penghargaan atas profesi apapun, itulah yang harus dipupuk sejak dini pada anak-anak. Profesi apapun jika dilakukan dengan sungguh-sungguh dan bermanfaat bagi orang lain adalah sebuah kebanggaan. Kebanggan bukan karena dari profesi itu mendapat banyak uang. Tapi kebanggan karena dapat berdikari dan menghidupi diri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Penghargaan juga menjadikan anak-anak untuk empati. Empati merasakan kesulitan sebuah pekerjaan. Susah ya ternyata jadi tukang pos itu. Makanya kalau menulis surat, jangan lupa tuliskan kode posnya, itulah ucapan empati lainnya yang sempat terucapkan anak-anak grup kantor pos.

Pertengahan tahun 2005,seorang siswi SMP di Bekasi yang bunuh diri karena ia tak tahan diledek temannya karena ayahnya seorang tukang bubur!.Bayangkan anak-anak SMP yang notabene sudah �gdewasa�h sampai hati melakukan hal tersebut. Inilah gambaran carut marut sistem pendidikan moral di negri kita. Empati memang tidak bisa diukur dengan parameter konkrit seperti nilai matematika. Ia juga tak bisa dilihat hasilnya secara instan. Butuh waktu dan proses yang terus menerus agar empati tumbuh di kalangan anak. Inilah pekerjaan rumah para pendidik dan orangtua yang paling penting. Karena dengan empatilah kehidupan berbangsa akan mencapai titik keselaran tertinggi.

Jadi berbicara tentang cita-cita anak-anak tidaklah sesederhana yang diduga. Cita-cita anak-anak adalah gambaran atas orang dewasa di sekelilingnya menghargai sesuatu. Mari kita didik anak-anak sedini mungkin untuk lebih empati terhadap lingkungan.

^posting lewat imel. Bisa kah?

No comments: